Penerapan ketentuan Customs Valuation di Indonesia kembali menjadi fokus litigasi setelah Pengadilan Pajak mengabulkan seluruh permohonan banding PT WIM terkait koreksi Nilai Pabean oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sengketa ini secara fundamental mempersoalkan validitas dan hierarki penggunaan Metode I (Nilai Transaksi) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan yang selaras dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait Nilai Pabean. Dalam kasus ini, DJBC menolak Nilai Transaksi yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) PT WIM sebesar CIF CNY 104.704,00 karena dinilai tidak wajar, dan kemudian menetapkan Nilai Pabean yang lebih tinggi, yang berujung pada tagihan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor.
Inti konflik dalam perkara ini adalah pertarungan pembuktian kewajaran nilai. DJBC berargumen bahwa nilai yang diberitahukan oleh PT WIM terlalu rendah dibandingkan data referensi harga impor sejenis yang dimiliki oleh otoritas, sehingga menimbulkan keraguan sah atas keakuratan nilai transaksi yang dibayar. Berdasarkan keraguan tersebut, DJBC beralih menggunakan metode penentuan nilai pabean urutan berikutnya (Metode II s.d. Metode VI), menolak keabsahan Nilai Transaksi (Metode I). Di sisi lain, PT WIM membantah koreksi tersebut dengan argumentasi yuridis yang kuat, yaitu bahwa mereka telah memenuhi semua persyaratan formal dan substansial untuk penggunaan Metode I sesuai Pasal 15 ayat (1) UU Kepabeanan. PT WIM menyajikan bukti pembayaran (payment advice dan transfer bank) yang sinkron dengan Commercial Invoice yang diajukan.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menegaskan kembali prinsip World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement yang mewajibkan prioritas pada Metode I. Majelis menimbang bahwa PT WIM telah berhasil memenuhi beban pembuktian dengan menyediakan dokumen-dokumen transaksi yang koheren. Majelis menilai bahwa DJBC gagal membuktikan secara spesifik dan meyakinkan bahwa data pembanding yang digunakan sejenis atau relevan dengan barang yang diimpor PT WIM, sehingga keraguan yang diajukan DJBC tidak cukup kuat untuk menggugurkan Metode I. Dengan demikian, Majelis berpendapat bahwa penetapan nilai pabean yang lebih tinggi oleh DJBC tidak sah dan secara hukum harus dibatalkan.
Implikasi putusan ini sangat penting bagi praktik kepabeanan di Indonesia. Kemenangan PT WIM ini memberikan penegasan kuat bahwa otoritas pabean tidak dapat dengan mudah menolak Nilai Transaksi hanya berdasarkan perbandingan harga, tanpa terlebih dahulu secara detail membuktikan ketidakabsahan atau ketidakakuratan Nilai Transaksi yang sebenarnya dibayar oleh importir. Keputusan ini menjadi preseden bagi Wajib Pajak untuk lebih teliti dalam menyiapkan dan menyimpan dokumentasi transaksi impor, memastikan sinkronisasi antara invoice dan bukti pembayaran. Hal ini juga memberikan pelajaran bagi DJBC untuk memperkuat basis data pembandingnya agar dapat memenuhi standar pembuktian yang ketat dalam sengketa nilai pabean.
Secara fundamental, putusan ini memperkuat perlindungan hukum bagi importir yang telah melakukan transaksi secara wajar dan transparan. Meskipun demikian, Wajib Pajak tetap harus proaktif melakukan evaluasi mandiri (self-assessment) terhadap risiko Customs Valuation, terutama jika harga impor mereka berada jauh di bawah nilai wajar pasar internasional, dan siap untuk menyajikan penjelasan komprehensif atas disparitas harga tersebut di hadapan Majelis Hakim.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini